Mencuci piring entah mengapa sudah jadi pekerjaan tetap gw sejak…sejak kapan ya? Yang pasti gw ingat sejak nyokap menghentikan asisten rumah tangga penuh dan paruh waktu saat gw masuk SMP, sejak itulah tugas gw sebagai bibik bersih-bersih berjalan. Bagian mencuci piring ini jadi drama sendiri buat gw. Kalau mencuci baju bisa gw lakukan hanya di tiap Sabtu siang lalu menyetrika sepanjang hari Minggu, mencuci piring harus dilakukan tiap hari. Dan Nyokap gw entah mengapa setiap kali masak, sepertinya mengeluarkan isi dari tiga lemari piringnya. Nyokap gw seorang guru yang setiap pagi harus selalu masak. Masakannya akan meliputi 2 lauk, 1 sayur dan 1 menu sampingan seperti tempe goreng atau tahu goreng atau kerupuk udang. Maka, sepulang sekolah gw akan mengambil ember hitam yang diameternya hampir satu meter itu untuk mengumpulkan semua piring dan gelas kotor dari dapur setelah menyisihkan semua makanan sisa yang ada di atasnya, lalu menyeretnya ke tempat mencuci baju di belakang rumah. Ember hitam itu akan penuh biasanya. Padahal isi rumah kami hanya 5 orang. Masa SMA malah 4 orang saja. Mencuci piring harus selesai dalam 30 menit, karena gw masih harus menyelesaikan menyapu, membereskan kamar nyokap bokap dan mengepel rumah sebelum bersiap berangkat les.
Kalau di rumah ada acara kumpul-kumpul seperti arisan atau tahun baruan, maka gw si pencuci piring terlatih ini sudah paham untuk menyediakan plastik sampah untuk sisa makanan, kardus bekas untuk tempat botol/kaleng/plastik minuman, ember tempat gelas dan ember tempat piring, sendok dan kawan-kawannya yang berminyak. Sampai sekarang setiap kali di rumah ada hajatan, gw biasanya menghalau orang-orang dari dapur untuk mencuci piring. Terakhir pas Bapaknya Arya kawin, gw yang masih pakai kebaya, songket dan sanggul meminta para namboru meninggalkan saja semua piring kotor setelah mereka membuat bak cuci piring mampet karena mencemplungkan semua sisa makanan dan nasi ke bak cuci piring. Gw nyaris muntab.
Bagaimana dengan Kung? Kung, si anak bontot yang terlahir di masa tua bokap nyokap gw selalu punya masalah dengan kulit sejak kecil. Mungkin karena kebanyakan minum susu formula sehingga darahnya manis kalau kata saudara-saudara kami. Maka jadilah kulitnya gampang sekali bermasalah. Mulai dari gampang luka karena disamber nyamuk, gampang terkelupas kalau kena pembersih, luka yang akan berbekas, membuatnya selalu lolos dari urusan bersih-bersih rumah. Sejak dia bisa gw berdayakan sebagai asisten, tugasnya berurusan sama tempat-tempat kering. Menyapu dapur saja. Setelah gw keluar dari rumah, tugas cuci piring pun diambil alih sama bokap nyokap. Demi menyelamatkan kulit Kung.
Nah, sekarang setelah kami tinggal bareng dipercayakan menjaga rumah bokap nyokap yang di Jakarta otomatis gw kembali jadi bibik bersih-bersih. Tapi entah mengapa mencuci piring bukan lagi hal yang ingin gw kerjakan. Kalau ngepel biasanya masih gw usahakan seminggu sekali dilakukan. Biasanya gw suka g tahan kalau lantai rumah terasa lengket atau mulai terlihat tanda jejak kaki. Gw suka bela-belain tengah malam ngepel rumah demi rasa puas melihat lantai bersih. Tapi urusan cuci piring inilah yang bikin hati terasa sesak. Makanya biasanya Sabtu malam urusan cuci piring harus sudah selesai supaya gw pergi mengajar Sekolah Minggu dengan hati gembira. Hanya saja Kung, adik gw yang mirip banget sama nyokap ini, entah mengapa di Minggu sore berhasil membuat bak cuci piring penuh kembali. Dan jadilah kami memulai minggu dengan tumpukan piring kotor. Dan gw paling sebel kalau menumpuk piring kotor tidak rapi. Mbok ya piring ditumpuk bersama piring gitu loh, trus gelas dikelompokkan dan garpu sendok dipisahkan. Kan lebih mudah ya mencucinya. Tapi ya Kung dalam hal ini beda tipis sama nyokap, semua disatukan. Jadilah piring kotor jadi beban buat gw.
Dan kalau sudah dianggap beban, maka jadilah gw menunda untuk mengerjakannya. Berharap besok gw bisa bangun lebih pagi untuk menyempatkan diri mencuci piring. Tapi tidak juga. Lalu hari berganti, piring kotor bertambah dan hati gw tambah berat. Apalagi kalau sudah lihat makanan sisa masih ada yang menempel di piring. Gw semakin menunda mengerjakannya. Akhirnya tumbuhlah jamur, atau sering kali kami jadi peternak lalat. Dan kalau sudah begitu, akhirnya mencuci piring jadi ajang olahraga karena gw harus menggosok semuanya sekuat tenaga. Memastikan tidak ada kotoran, jamur atau telur lalat yang masih menempel. Dan jadilah lebih sering gw mencuci piring dalam kondisi hati terpaksa, tertekan, bersungut-sungut. Padahal setelah dikerjakan, ternyata cuma segitu doang. Iya, bener! Segitu doang. Cuma sebuah penggorengan dengan 5 piring, 6 gelas dan setumpuk sendok garpu.
Jadi mulai sekarang, setiap kali gw merasa hati gw berat dengan sesuatu yang harus dikerjakan gw sering kali berkata kepada diri sendiri, “Tenanglah, ingat saja. Ini sama seperti cucian piring kotor. Cuma segitu doang dan pasti bisa kau selesaikan.”