Hello world!
Senin pagi ini badan gw terselamatkan oleh multivitamin yang diminum sebelum tidur. Kata Olin, gw kemarin jalan-jalan dengan nyawa yang keluar setengah. Hahahahaha….. Kemarin itu acara Puncak Parheheon Sekolah Minggu di gereja. Tahun ini acaranya dimodifikasi sedikit berdasarkan hasil contekan sana-sini. Ada tiup lilin dan potong kue, pembagian hadiah lomba-lomba dalam rangkaian kegiatan Parheheon lalu Olimpiade Alkitab.
Kemarin yang melegakan jiwa gw ada 2 hal yaitu anak-anak bisa menjawab soalnya dan ulos yang gw bawa dari lemari nyokap memang ulos jadul cantik yang ternyata ulos tenun tangan. Hahahaha….kemarin sampai dicolek sama salah satu orang tua ASM yang bilang, “Ce, ulosmu itu ulos bagus. Ulos tenun yang sudah jarang ada. Jaga baik-baik jangan sampai kotor dan hilang. Kalau kau pulang ke Samosir atau Tarutung, cari partonun untuk bikin yang seperti ini.” Lalu sampai dipegang-pegang untuk ditunjukkan ke segerombolan ibu-ibu yang kemudian menyampaikan masukan mengenai lamanya pembagian konsumsi untuk anak-anak. Hal yang kedua, sebaran anak-anak kelas 4 SD – SMP yang maju sampai ke Babak Penyisihan 3 itu cukup merata. Artinya 70 soal yang mereka kerjakan di 2 babak sebelumnya cukup representatif dengan pengetahuan mereka. Dan di babak final gw kek orang gila yang tepuk tangan kuat-kuat setiap kali salah satu dari enam finalis bisa menjawab soalnya. Artinya hahahaha….soal yang dibuat dengan banyak drama itu cukup layak menjadi soal.
Pagi ini Pampam, seorang teman dan tetangga yang rumahnya baru dua kali gw sambangi untuk minta dibedakin dan yang suka gw WA setiap kali dia posting hasil make-up-nya di FB; mengirimkan foto minta review. Gambar pengantin Batak yang wajahnya simetris dengan dahi yang agak lapang yang hasil riasannya membuat perempuan itu terlihat ramah dan nyenengin untuk dilihat. Make-up-nya tidak membuatnya menjadi orang lain. Karena dari awal Pampam bilang jangan komentar soal alisnya sebab dibuat dengan buru-buru, gw hanya kasih masukan soal baiknya ada shading di dekat akar rambutnya demi mengelabui lapangnya dahi sama baiknya dia punya glitter warna champagne biar memberi kesan romantic look untuk pengantin wanita Batak yang memutuskan memakai kebaya putih bersih dan bunga mawar putih untuk pemberkatan.
Lalu tiba-tiba di Grup Seksi Sekolah Minggu, dengan postingan foto-foto balon harapan yang dituliskan oleh orang tua dan anak-anak pada saat Pembukaan Parheheon Sekolah Minggu; Ibu Pendeta ngamuk membabi buta. Sebuah tulisan samar “ganti Pendeta Sekolah Minggu” terbaca olehnya. Kemudian muncullah pertanyaan, mengapa tidak disaring, siapa yang menempelkan, apa maksudnya, ini pasti sengaja ditulis, kalian tega menempelkan karena hati kalian sudah dikotori oleh pikiran jahat. Gw yang tadinya mau menulis menjelaskan bahwa semua tulisan yang dapat dibaca memang ditempelkan, semuanya adalah murni tulisan orang tua dan ASM, tidak ada seorang gurupun yang menulis; akhirnya memilih untuk keluar dari grup. Di Senin siang energi gw tidaklah perlu dihabiskan melihat seorang perempuan histeris yang selalu bilang, kalau ada apa-apa bicarakan sama saya tetapi setiap mencoba berbicara jawabannya hanya akan membuatmu bertanya-tanya apa hubungannya Ibu Pendeta ini dengan Om Anies. Loh….hahahahaha…….
Beberapa teman juga akhirnya memutuskan untuk keluar dari grup. Salah seorang GSM yang juga menjadi pengurus dihubungi oleh Ibu Pendeta ini dengan tulisan panjang bertubi-tubi menjelaskan bahwa dia sudah lihat itu kemarin. Dia bersama suaminya yang juga pendeta sudah mendoakan sejak kemarin. Dia meminta Tuhanlah yang berperkara dengan si penulis anonim tersebut. Dia tidak terpengaruh dengan tulisan itu. Lengkap dengan hahaha-hihihihi serta emoticon smiley. Hal yang akan membuatmu bertanya, kalau tidak terpengaruh, kenapa wa-nya bertubi-tubi dengan kalimat-kalimat negatif? Bagaimana sekiranya dia mendengar langsung bahwa salah seorang parhaldo pun kemarin mengusulkan hal yang sama, ganti pendeta sekolah minggu. Karena melihat bahwa setelah beberapa kali mereka berseberangan pendapat, Ibu Pendeta ini tidak lagi bertegur sapa dengannya yang merupakan pria tua. Kuberi tahu ya, bagi pria tua Batak bertegur sapa itu sangatlah penting sekali. Mereka sangat senang disapa dan disalami terlebih dahulu oleh orang yang lebih muda. Parhalado tua ini menyimpulkan betapa anehnya karakter seorang pendeta yang masih terbilang muda, perempuan pula, yang anti kritik.
Dua situasi yang berbeda sekali lalu membawa gw ke perenungan tentang kritik. Kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. KBBI mengenal kritik membangun yaitu kritik yang bersifat memperbaiki. Seringkali kita merasa kata kritik terlalu keras. Kita lebih suka dengan kata tanggapan, masukan atau pendapat karena terdengar lebih halus dan sopan. Dan kemudian kata kritik terdengar negatif, dekat dengan rasa kebencian. Menurut gw ada beberapa hal tentang kritik, dikritik dan mengkritik yang bisa dipelajari:
Kritik membutuhkan pengamatan mendalam
Percayalah ada beda yang sangat tajam antara kritik yang disampaikan oleh orang yang benar mengamatimu atau yang hanya ingin melempar bom untuk ketenangan jiwamu. Orang-orang yang mengamatimu, kritiknya seperti emas di atas nampan. Hahahaha…. Berharga. Meskipun mungkin cara penyampaiannya tidak menyenangkan, tetapi jika membuka hati akan ada waktunya atau situasi yang akan membuat kritik itu bergema di kepalamu.
Kritik membutuhkan kedekatan emosional
Hanya orang-orang yang mempunyai kedekatan emosional yang akan menyampaikan kritiknya tentang sesuatu atau seseorang. Jangan pernah senang dengan orang yang hanya menyampaikan puja-puji karena artinya orang itu hanya mencari aman denganmu atau hanya sekedar basa-basi penghangat suasana. Atau lebih buruk lagi, jangan pernah senang dengan orang-orang yang selalu manut-manut saja denganmu. Artinya bisa jadi dia tidak begitu peduli dengan hidupmu atau terlalu takut untuk menyatakan pendapatnya tentangmu.
Kritik membutuhkan kemampuan menyimak
Kadang-kadang orang-orang terdekat datang dengan kritik paling keras. Sekarang pertanyaannya mau menyimak atau tidak? Dalam teori komunikasi ada namanya konteks dan konten. Konteks adalah bagaimana cara penyampaiannya, dalam hal/situasi apa konten disampaikan. Sedangkan konten adalah isi pesannya. Seringkali konteks mengalahkan konten. Dalam hal inilah kemampuan menyimak dibutuhkan, menyaring semua kata-kata yang tidak relevan untuk mencari intisari percakapan.
Kritik membutuhkan citra diri yang sehat
Ibu Pendeta Sekolah Minggu datang dengan penegasan dia ditunjuk dan ditetapkan oleh Tuhan, sementara para GSM bukan siapa-siapa. Dia menuliskan berulang-ulang bahwa yang menempelkan tulisan ganti pendeta sekolah itu karena sudah dikuasai kebencian, dan mempertanyakan apa yang sudah dibuat oleh si penulis anonim itu untuk Sekolah Minggu. Agak kontras dengan pernyataannya di awal yang menyatakan bahwa itu tidak mempengaruhi dirinya dan hahahihi-nya.
Menurut gw, citra diri yang sehat itu berani jujur menyampaikan, “Saya sedih dengan kritik ini.” Atau “Saya belum bisa terima itu saat ini, tapi saya akan ambil waktu untuk memikirkannya.” Orang dengan citra diri yang tidak sehat akan cenderung merasa dia sebagai korban ketika mendengar kritik. Gw pribadi mengalaminya kalau sudah dikritik oleh Kung, adik gw. Dikritik oleh seorang kolerik sejati itu mengerikan. Seakan-akan dirimu bertanggung jawab untuk setiap anak di muka bumi ini yang menjadi korban kejahatan seksual dari orang dewasa jahat. Sungguh perasaan yang tidak menyenangkan.
Citra diri yang sehat terlihat dari kemampuan mengekspresikan perasaannya dengan tepat tanpa menjadi drama ketika mendapat kritik. Citra diri yang sehat juga terlihat dari kemauan untuk menerima kritik meskipun tidak berarti selalu setuju dengan kritik tersebut. Citra diri yang sehat akan membantu si penerima kritik untuk bisa bertanya, “Apa yang sebenarnya kamu harapkan dengan kritik ini?” atau “Apa yang sebenarnya kamu ingin saya lakukan dengan kritik ini?” tanpa merasa dirinya dikerdilkan. Sebaliknya citra diri yang sehat juga tidak membuat si penerima kritik menyombongkan diri untuk membuktikan bahwa kritik itu salah. Citra diri yang sehat akan membantu kita tidak melihat si pemberi kritik seperti remahan keripik yang harus dihempaskan karena mengotori baju.
Kritik berjalan seiring dengan apresiasi
Ibarat terang dan gelap yang bergantian menjadi penunjuk siang dan malam, kritik dan apresiasi haruslah berjalan beriringan. Hanya orang-orang yang menyampaikan kritik dan apresiasi secara beriringan yang benar-benar peduli denganmu. Karena apresiasi berarti ia benar memperhatikan kemajuanmu atau hal-hal baik yang kau lakukan. Dan itu menjadi suatu tanda bahwa kritik yang disampaikannya bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi juga untuk dirimu. Percayalah jika dosisnya tepat, orang yang mendengarkannya akan sangat percaya pada si pemberi kritik. Dan kritikmu pasti akan ditunggu-tunggu olehnya.
Kritik menguji kerendahan hati untuk terus belajar
Hal ini ditekankan oleh salah satu professor pembimbing tesis gw. Sepertinya bapak tua ini menangkap kegelisahan gw setiap kali mengantarkan draft tulisan per bab ke rumahnya. Dengan lembut khas kakek-kakek Jawa ia berkata, “Kamu ini mahasiswa, saya adalah dosenmu. Jadi sudah sudah tugas saya menemukan kekurangan dalam tulisanmu. Santai saja. Jangan jadi beban.” Bagi gw yang memuja kesempurnaan sehingga menjadi tertekan akhirnya gw menjadi dosen penguji atas tulisan gw sendiri, perkataan itu memecahkan batu besar di hati gw.
Bagaimanapun, kita bukan Tuhan Allah yang sudah sempurna. Bahkan anak-anak dapat menjadi guru yang baik bukan? Lalu mengapa kita sulit menerima kritik dari sesama orang dewasa hanya karena merasa orang itu tak setara dengan kita? Terbukalah untuk kritik. Siapa tahu kritik itu mengarahkan kita ke hal-hal baru untuk dipelajari.
Pada akhir perenungan gw, belajar menghadapi kritik itu paling nyata dari Pakde Jokowi. Kurang apa kritik terhadapnya? Bahkan bukan hanya kritik, nyinyiran dan fitnahan sepertinya setiap minggu ada saja yang baru. Belajar darinya, menghadapi kritik terbaik adalah terus bekerja menghasilkan karya. Konsisten bekerja dan berbuah karya. Karena pada akhirnya karya lebih nyata dari kata-kata.
Catatan:
Rittik adalah kata dalam Bahasa Batak yang artinya gila. Sering kali dipakai dalam kalimat untuk menyatakan ketika seseorang sudah kehilangan akal sehat.