Dua minggu ini, gw melayat ke tiga keluarga yang berbeda. Yang pertama adalah bokapnya temen sekolah minggu gw, yang kedua adalah ibu rekan pelayanan sekolah minggu dan yang terakhir adalah ibu yang sudah 8 tahun sakit ginjal yang selama ini didukung oleh komunitas pelayanan gw yang lainnya. Kesamaan dari ketiga keluarga ini adalah, kepergian orang tuanya membuat mereka menjadi yatim piatu.
Ini yang terjadi kalau lo melayat ke keluarga Batak Kristen. Biasanya jika yang meninggal orang tua, maka penguburan akan dilakukan 2-3 hari setelah orang tersebut meninggal. Selama 2-3 hari ini akan banyak orang yang datang memberi penghiburan. Jika yang datang juga orang Kristen maka biasanya diadakan kebaktian kecil dengan mengajak keluarga yang berduka bernyanyi 2 lagu rohani, berdoa dan ucapan kata-kata penghiburan.
Ucapan kata-kata penghiburan inilah yang sering kali menambah dosa gw dengan menjadikannya bahan nyinyiran dengan orang yang ada di sebelah gw. “Jangan bersedih ya.” atau “Berhentilah menangis!” adalah kalimat yang paling umum diucapkan yang bikin gw pengen pasang muka sinis dan tanya balik dengan, “Maksud ngana?” Bahkan ketika opung boru kami tak berhenti menangisi suaminya, ketika seorang pelayat mengucapkan kalimat itu; gw spontan bilang ke seorang tante, “Gila orang itu! Teman tidur opung selama 60 tahun yang sangat dikasihi meninggalkannya, masa’ harus berhenti menangis?”
Waktu nyokap di rumah saat-saat terakhir, ada seorang bapak yang jadi perwakilan teman koor memberikan kata penghiburan ke bokap dengan, “Akupun sudah ditinggalkan istriku terlebih dahulu, tapi untungnya anak-anakku sudah menikah jadi sudah selesai tugas istriku.” Gw yang waktu itu lebih suka pegang tangan nyokap, memilih untuk mengeluarkan emosi gw dengan menatap bapak itu dengan tatapan setajam laser. Gw dan abang gw memang sudah dalam usia yang cukup untuk menikah, tapi sungguh kami berdua tidak memasukkan agenda kematian nyokap dalam masa muda kami. Sahabat gw mengalami hal yang lebih pahit lagi. Seorang pelayat dengan tajam mengatakan kepadanya, “Kalau kau sudah menikah, maka bapakmu bisa lebih pantas dikuburkan secara adat.” Ini membuatnya mengutuki statusnya sebagai single tanpa teman dekat pria berbulan-bulan kemudian.
Yang paling ekstrim adalah kemarin yang gw lihat di rumah duka ibu yang sudah 8 tahun cuci darah itu. Anaknya yang bontot; laki-laki yang baru kelas 3 SMP, itu tak henti memanggil ibunya dengan tangis yang menyayat hati sambil mengusap-usap pipi ibunya atau sekali-kali memeluk ibunya dengan sekuat tenaga. Ketiga kakak perempuannya pun melakukan hal yang sama. Gw dan teman-teman sepelayanan yang melihatnya hanya mampu mengusap air mata masing-masing membayangkan pedihnya menjadi yatim piatu di usia remaja. Tiba-tiba seorang ibu dari barisan pelayat menghampiri mereka, menarik kasar badan anak bungsu itu dan menghardiknya, “Jangan kau pegang-pegang wajah mamakmu itu!! Masih ada 2 hari lagi! Nanti hitam wajahnya, tak bagus nanti!” Spontan gw ngomong dengan suara keras, “Justru karena tinggal dua hari lagi, jadi kapan lagi bisa dipegang mamaknya? Gila ibu ini!” Beberapa ibu dan teman yang ada disebelah gw menatap dengan tatapan persetujuan. Wajah menghitam, apa pentingnya? Untuk dokumentasi? Jika masih ada album fotonya semasa hidup, untuk apa melihat foto kematian orang tua kita? Karena itu gw bisikkan ditelinganya, “Puaskan hatimu, pegang mamamu selagi masih di sini.” Dengan polos dia menjawab, “Katanya engga boleh, Kak.” Pedihnya….
Kalau memang tidak tahu apa yang diucapkan, kenapa tidak berkata, “Tetaplah berdoa.” atau “Jaga kesehatan ya.”? Atau “Menangislah, berserulah pada Tuhan. Tapi ingatlah bahwa Kristus berkata di Rumah BapaKu banyak tempat tinggal dan di sana tidak ada lagi perkabungan, ratap tangis atau dukacita.” Berikan pelukan erat sambil mendoakan mereka untuk tetap merasakan kasih dan pengiburan dalam kedukaannya. Ingatlah, kita hadir ke sana untuk melipur lara mereka.
Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.
Amsal 12:18