Kira-kira satu dekade yang lalu, Meisi mendaulat gw menjadi salah satu pengiring pengantinnya. Waktu itu Meisi kasih bahan brokat dan satin warna coklat susu pucat. Hahahaha…sorry! Dan waktu gw tanya modelnya seperti apa, dia jawab: kebaya ya.
Maka, jadilah gw yang saat itu baru beradaptasi sebagai pekerja di ibukota mencari-cari informasi penjahit kebaya/butik yang ada di sekitar Depok. Waktu itu gw kost di Margonda dengan jam malam dan sadar bahwa menjahit kebaya memerlukan beberapa kali fitting, dengan kemacetan Jakarta dan keterbatasan angkutan jadi lebih baik memastikan gw masih bisa masuk gerbang kosan sebelum jam 10 malam. Waktu itu ada satu butik yang cukup besar yang jadi rekomendasi beberapa blogger. Gw lupa apa namanya atau alamatnya yang ada kata Nusantaranya. Tempatnya besar, beberapa manekin dengan hasil kerja mereka terpampang. Waktu pengukuran, mereka sudah pakai kertas dengan logo nama butiknya. Gw disambut dengan ramah lengkap dengan pertanyaan mau berapa tulangan? Apakah 6 atau 8? Semuanya tampak benar dan pas.
Sampai akhirnya saat fitting pertama, gw merasakan ada yg tidak beres dengan bustiernya. Sepertinya miring. Salah satu mbak-nya meyakinkan gw bahwa itu terjadi karena belum selesai. Kening gw berkerut, tapi baiklah mereka harusnya lebih tahu bukan? Fitting kedua, perasaan tidak nyaman karena salah satu tulangan bustier-nya yang miring makin menjadi-jadi. Gw berusaha menjelaskan apa yang gw rasakan dengan harapan mereka akan memperbaikinya. Lalu gw kembali ke kesibukan pekerjaan. Tidak sempat kembali lagi untuk pengepasan sampai Hari H.
Gw datang pagi bareng Pak Kriting sambil membawa bustier kebaya wisuda gw. Entah kenapa gw merasa perlu membawanya sebagai pembanding. Padahal kebaya wisuda gw hanyalah buatan penjahit rumahan bapak-bapak dengan 4 tulangan. Dan betapa kecewanya gw menemukan bahwa tidak ada yang berubah dengan bustier-nya. Muntablah gw dengan mengeluarkan bustier wisuda gw untuk menjelaskan kemarahan gw sambil menekankan pentingnya acara malam itu buat gw. Mereka menawarkan untuk memperbaikinya, tapi gw sudah terlanjur kecewa. Gw butuh seragamannya untuk resepsi Meisi bukan acara lain. Tidak ada gunanya perbaikan. Akhirnya gw minta uang ganti rugi seharga kainnya. Membiarkan mereka mendapatkan kebaya itu.
Maka jadilah gw meminta maaf ke Meisi dengan menjelaskan situasinya. Gw tawarkan gw bisa memakai kebaya modern Kung berwarna merah dan mengerti kalau gw tidak boleh berjalan mengiringinya. Tapi Meisi bilang gw harus datang dan jadilah malam itu gw jalan sendiri di depan Meisi dan Faby dengan kebaya yang beda sendiri. Salah satu man of honor-nya Faby g datang rupanya.
Dan hari ini, satu dekade kemudian gw mengalami situasi yang hampir serupa. Setelah berkali-kali menjelaskan apa yang gw membuat gw merasa tidak nyaman dari cara Pak Kriting memperlakukan gw, dan responnya adalah: kamu tahu kan tidak semua perasaanmu itu benar? Gw seperti melihat tayangan bom atom Hiroshima meledak dalam gerakan lambat tanpa suara.
Sama seperti para penjahit di butik Depok itu, dia gagal mendengar apa yang gw sampaikan karena menurutnya gw salah. Tapi bedanya saat itu gw berani mengambil keputusan. Dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang salah. Kali ini gw harus berani mengambil keputusan. Gw yang salah mengharapkan orang yang sibuk dengan dirinya sendiri untuk peduli dengan orang lain.